Akhirnya teman kental Uwan, Eka Budianta, setuju untuk mengisi kebunnya
dengan sebuah rumah siap pakai/ knock-down dari Sumatera Selatan. Rumah
ini dikenal sebagai rumah Meranjat, yang diproduksi oleh masyarakat desa
Tanjung Batu Seberang – Ogan Komering Ilir. Seluruh warga desa terkenal
sebagai pembuat rumah kayu dari bahan lokal yang disebut kayu Meranjat.
Sampai kini, agar pasokan kayu tetap langgeng, penduduk sengaja
menanam pohon meranjat di hutan-hutan sekitar desa. Penduduk desa
sudah turun temurun menguasai teknologi pembuatan rumah kayu yang khas
itu. Buktinya, ratusan rumah terjual di Sumsel, sudah puluhan pula yang
diekspor ke propinsi lain di Sumatera dan Jawa.
Eka mempunyai sebidang lahan seluas 1200 meter di kawasan Depok, yang
dibelinya tahun 1983 silam. Kalau tidak salah pesangon waktu pensiun dari
majalah Tempo. Pelan-pelan ditanaminya lahan itu dengan berbagai jenis
tanaman langka, lengkap dengan kolam ikan kecil berhiaskan teratai berbunga
merah putih. Kebun ini sempat terlantar karena ia melanglang buana menjadi
penyiar BBC di London dan pengajar bahasa di Ithaca. Kebetulan istrinya
Melanie sedang bergulat menyelesaikan S3 di Cornell University.
Itulah, pada pertengahan 95, kami bermobil dari Jakarta untuk membeli
rumah itu. Seluruh rumah-rumah di desa itu boleh dibeli, yang penting cocok
harganya. Pilihan jatuh pada type 72 seharga 11 juta pada waktu itu. Tentu
termasuk ongkos kirim dan biaya pembongkaran serta pemasangan kembali di
Depok. Cukup mahal untuk standar harga waktu itu
Rundingan selesai sekejap karena tidak perlu tawar menawar. Eka berpendapat
harga yang dipatok adalah harga kubikasi ditambah nilai proses kreatif
pembuatnya. Dijanjikan dalam tiga hari kiriman rumah sudah sampai di Jakarta
untuk segera kembali di pasang.
Benar, sesuai janji pekerjaan memasang kembali di Depok cukup 3 hari
juga. Tak lebih dan tak kurang. Itupun sudah dengan pergantian bahan atap
rumbia dengan genteng lokal asal Jatiwangi. Jadilah, seminggu kemudian
diadakan kenduri menaiki rumah dengan mengundang tetangga yang umumnya
orang betawi asli. Pelan tapi penuh semangat kesederhanaan, rumah itu didandani.
Sebagai alat penyimpan perabot digunakan kotak kayu eksotis berhiaskan
pecahan kulit kerang mutiara asal Lombok. Untuk kordeng dimanfaatkan kain
eceng gondok. Sebagai alas lantai dipakai lampit, tikar rotan Kalimantan
serta kain sumbu asal Pekalongan sebagai ganti permadani. Selimut tenun
ikat dari Rote dan Sumba. Gambar dinding hasil sulaman Naras dan Padai
Sikek sumbangan Uwan. Peralatan makan piring dan gelas kayu kerajinan Tulung
Agung dimana tatakannya anyaman dari Raja Polah. Gayung di kamar mandi
terbuat dari tempurung asal kerajinan rakyat Gorontalo.
Ditiang rumah tergantung ransel kayu buatan Dayak Kalimantan serta noken
(tas bawaan hasil bumi yang tehnik memakainya biasa disangkutkan di kepala)
asal Papua. Diambang pintu ada tong-tong asal Blora dan gendang tudukkat
asal Siberut pengganti bel listrik. Tifa dari Papua merupakan fasilitas
tanda kedatangan tamu yang lewat pintu belakang.
Komplit sudah rumah Meranjat sebagai tujuan wisata dari masyarakat Depok.
Berbulan-bulan sesudah rumah itu dibangun, masih saja ada warga Depok yang
berpiknik. Umumnya datang lengkap dengan tikar untuk dihamparkan di bawah
pokok jambu air serta sejinjing makanan. Sehari rata-rata pengunjung mencapai
5 KK, termasuk mereka yang bermaksud memadu janji alias pacaran sehat.
Untuk memfasilitasi para turis lokal ini, Eka menerbitkan buku panduan
yang menceritakan tentang ikhwal rumah dan pohon-pohon langka yang tumbuh
di halamannya. Buku terbitan Puspa swara 1996 ini diberi judul Meranjat,
Rumah Kebun Sederhana yang kemudian hari dapat dibeli di toko buku Gramedia.
Setahun setelah rumah ini eksis di Depok, Melanie kedatangan koleganya
dari Cornell yang menjadi visiting professor di UI. Sejawat ini sangat
tertarik dengan rumah dan suasana kebun sederhana itu. Ia akhirnya menyewa
untuk rumah tinggalnya selama bertugas di UI, kalau tak salah satu setengah
tahun. Tentu dengan dolar, sehingga uang sewa itu nilainya dapat membeli
2 rumah Meranjat lagi. Bukan main.
Rumah Minang juga unik dan rasanya lebih eksotis. Soal kita bagaimana
membuatnya bisa berpola bongkar pasang dan tentu murah. Akan lebih spesifik
lagi karena ragam hias dan ornamen kita sangat kaya. Kalau saja ada investor
yang mau wiraswasta rumah minang bongkar pasang, Uwan bersedia menjadi
pihak yang menawar-nawarkannya. Dengan relasi yang ada, rasanya memasarkan
2 rumah perbulan sebagai permulaan tentu tidak kecil nilai rupiahnya. Uwan
tentu akan memperoleh nafkah ekstra.***
kembali ke halaman utama